Sabtu, 03 Oktober 2015

makalah Pelvic Inflamantory Disease (PID)





MAKALAH
KESEHATAN REPRODUKSI DAN KELUARGA BERENCANA
(Pelvic Inflamantory Disease)
Description: D:\Semester 1\Kebidanan\Simbol\iiilmn.jpg
Di susun oleh
Kelompok IV
Anggota :
Meidha Sinta Suputri                      Nim : PO.62.24.2.14.061
Nana Rianti                                     Nim : PO.62.24.2.14.062
Nur Eka                                          Nim : PO.62.24.2.14.063
Nurhalimah Dyah S                        Nim : PO.62.24.2.14.064
Osa Agustin                                    Nim : PO.62.24.2.14.065
Ovitaloka                                        Nim : PO.62.24.2.14.066
KELAS : REGULER XVI
DIII KEBIDANAN


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLTEKKES KEMENKES PALANGKARAYA
2015


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Kesehatan Reproduksi yang berjudul “Penyakit Radang Panggul” (Pelvic Inflammatory Disease) dengan baik tanpa hambatan.Dengan selesainya makalah ini disusun, kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang Terhormat Dosen Pembimbing kami serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.Walaupun makalah ini telah selesai,namun karena keterbatasan kemampuan dan literatur yang kami miliki,sehingga makalah ini jauh dari sempurna,sehingga besar harapan kami untuk menerima saran dan kritik yang bersifat konstruktif.
Kami mengucapkan selamat membaca semoga makalah ini ada manfaatnya bagi pembaca pada umumnya dan ilmu pengetahuan khususnya.


Palangka raya,   September 2015


Kelompok IV
DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR                                                                                                           i
DAFTAR ISI                                                                                                                          ii
BAB I PENDAHULUAN                                                                                                     1
1.1.   Latar Belakang                                                                                                         1
1.2.   Rumusan Masalah                                                                                                     1
1.3.   Tujuan Pembelajaran                                                                                     1
BAB II PEMBAHASAN                                                                                                      2
2.1.   Pengertian                                                                                                                 2
2.2.   Klasifikasi                                                                                                                 2
2.3.   Tanda dan Gejala                                                                                                      6
2.4.   Pemeriksaan Yang Di Lakukan                                                                                7
2.5.   Pengobatan                                                                                                               7
BAB III PENUTUP                                                                                                               10
3.1.   Kesimpulan                                                                                                               10
3.2.   Saran                                                                                                                         10
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                                        11


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelvic Inflammatory Disease (PID) adalah istilah klinis umum untuk infeksi traktus genital atas. Terdapat sekitar 1 juta kasus PID di Amerika Serikat setiap tahunnya. Prevalensi ini meningkat pada negara berkembang dengan masyarakat sosioekonomik rendah.
Lebih dari seperempat pasien PID membutuhkan rawatan di rumah sakit.
Resiko meningkat pada daerah dengan prevalensi penyakit menular seksual tinggi akibat dari aktivitas seksual bebas dan berganti pasangan. Negara berkembang seperti Indonesia memiliki segala resiko yang menyebabkan rentannya terjadi PID pada wanita Indonesia.Untuk itu, diperlukan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat untuk mengurangi prevalensi PID. Karenanya, dibutuhkan pengetahuan tentang PID agar dapat dicegah, didiagnosa dini, dan ditatalaksana dengan cepat dan segera.

1.2. Rumusan Masalah
 Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:
1.      Apa pengertian pelvic inflammatory disease (PID)?
2.      Apa saja klasifikasi pelvic inflammatory disease (PID)?
3.      Apa saja tanda dan gejala pelvic inflammatory disease (PID)?
4.      Apa pemeriksaan yang di lakukan pada pelvic inflammatory disease (PID)?
5.      Apa pengobatan untuk pelvic inflammatory disease (PID)?

1.3. Tujuan Pembelajaran
 Adapun tujuan penulisan yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:
1.      Mengetahui pengertian pelvic inflammatory disease (PID)?
2.      Mengetahui apa saja klasifikasi pelvic inflammatory disease (PID)?
3.      Mengetahui apa saja tanda dan gejala pelvic inflammatory disease (PID)?
4.      Mengetahui apa pemeriksaan yang di lakukan pada pelvic inflammatory disease (PID)?
5.      Mengetahui apa pengobatan untuk pelvic inflammatory disease (PID
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Pengertian
Penyakit Radang Panggul (PID: Pelvic Inflammatory Disease) adalah infeksi pada alat genital atas. Proses penyakitnya dapat meliputi endometrium, tubafalopii, ovarium, miometrium, parametria, dan peritonium panggul. PID adalah infeksi yang paling peting dan merupakan komplikasi infeksi menular seksual yang paling biasa (Sarwono,2011; h.227)
Pelvic Inflamatory Disease adalah suatu kumpulan radang pada saluran genital bagian atas oleh berbagai organisme, yang dapat menyerang endometrium, tuba fallopi, ovarium maupun miometrium secara perkontinuitatum maupun secara hematogen ataupun sebagai akibat hubungan seksual. (Yani,2009;h.45)
Pelvic Inflamatory Diseases (PID) adalah infeksi alat kandungan tinggi dari uterus, tuba, ovarium, parametrium, peritoneum, yang tidak berkaitan dengan pembedahan dan kehamilan. PID mencakup spektrum luas kelainan inflamasi alat kandungan tinggi termasuk kombinasi endometritis, salphingitis, abses tuba ovarian dan peritonitis pelvis. Biasanya mempunyai morbiditas yang tinggi. Batas antara infeksi rendah dan tinggi ialah ostium uteri internum (Marmi, 2013; h.198)
2.2.  Klasifikasi
Menurut Yani (2009;h.45-50) bentuk-bentuk PID:
1.      Endometritis
Endometritis adalah suatu peradangan pada endometrium yang biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri pada jaringan.
Endometritis paling sering ditemukan terutama:
a.       Setelah seksio sesarea
b.      Partus lama atau pecah ketuban yang lama
Diagnosa banding endometritis meliputi infeksi traktus urinarius, infeksi pernafasan, septicemia, tromboflebitis pelvis, dan abses pelvis.
Penatalaksanaan pada endometritis:
a.       pemberian antibotika dan drainase yang memadai
b.      Pemberian cairan intra vena dan elektrolit
c.       Penggantian darah
d.      Tirah baring dan analgesia
e.       Tindakan bedah
Menurut Yani (2010;h.46-47) endometritis dibagi 2:
1)       Endometritis akut
Pada endometritis akut endometrium mengalami endema dan hiperemi terutama terjadi pada post partum dan post abortus.
Penyebab :
a.    Infeksi gonorhoe dan infeksi pada abortus dan partus
b.     Tindakan yang dilakukan di dalam uterus seperti pemasangan IUD, kuretase
Gejala-gejala :
a.       Demam
b.       Lochia berbau
c.       Lochia lama berdarah bahkan metrorhagia
d.      Tidak menimbulkan nyeri jika radang tidak menjalar ke parametrium atau perimetrium
Penatalaksanaan :
Dalam pengobatan endometritis akut yang paling penting adalah berusaha mencegah agar infeksi tidak menjalar. Adapun pengobatannya adalah:
a.       Uterotonik
b.      Istirahat, letak fowler
c.       Antibiotik
2)   Endometritis kronika
Endometritis tidak sering ditemukan. Pada pemeriksaan microscopic ditemukan banyak sel-sel plasma dan limfosit
Gejala-gejala klinis endometritis kronika :
a.       Leukorea
b.      Kelainan haid seperti menorhagie dan metrorhagie.
Pengobatannya tergantung pada penyebabnya, endometritis kronika ditemukan :
a.       Pada tuberculosis
b.      Pada sisa-sisa abortus atau partus yang tertinggal
c.       Terdapat corpus alineum di cavum uteri
d.      Pada polip uterus dengan infeksi
e.       Pada tumor ganas uterus
f.       Pada salpingo ooforitis dan selulitis pelvic


2.      Myometritis
Biasanya tidak berdiri sendiri tetapi lanjutan dari endrometritis, maka gejala-gejala dan terapinya sama dengan endrometritis. Diagnosa hanya dapat dibuat secara patologi anatomis.
3.      Parametritis (celulit pelvica)
Parametritis yaitu radang dari jaringan longgar didalam ligament latum. Radang ini biasanya unilateral.
Diagnose banding adnexitis lebih tinggi dan tidak sampai kedinding panggul biasanya bilateral.
Etiologi parametritis dapat terjadi:
a.    Dari endometritis dengan 3 cara
1.    Percontinuitatum: endometritis, metritis, paraetritis
2.    Lymphogen
3.    Haematogen: phlebitis, periphelbitis, parametritis.
b.    Dari robekan servik
Perforasi uterus oleh alat-alat (sonde, kuret, IUD).
Gejala:
1.    Suhu tinggi dengan demam menggigil
2.    Nyeri unilateral tanpa gejala rangsangan peritoneum, seperti muntah, derense dll. Terapi antibiotic.
4.    Salpingitis akut
Diagnose banding kehamilan ektopik, tidak ada demam, KED tidak tinggi, dan leokosite tidak seberapa. Jika tes kehamilan positif, maka adneksitis dapat dikesampingkan, tetapi jika negative keduanya mungkin.
Appendicitis tempat nyeri tekan lebih tinggi (Mc burney). Salpingitis menjalar ke ovarium hingga terjadi oophoritis. Salpingitis dan oophoritis diberi nama adnexitis.
Etiologi paling sering disebabkan oleh gonococcus, disamping itu oleh staphylococcus, streptococcus dan bactery tbc.
Infeksi dapat terjadi sebagai berikut:
a.       Naik dari kavum uteri
b.      Menjalar dari alat yang berdekatan seperti dari appendiks yang meradang
c.       Haematogen terutama salpingitis tuberculosa. Salpingitis biasanya bilateral.
Gejala:
a.       Demam tinggi dengan menggigil
b.      Nyeri perut kanan kiri bawah, terutama jika ditekan
c.       Defense kanan dan kiri atas ligament pourpart
d.      Mual dan muntah ada gejala abdomen akut karena terjadi rangsangan peritoneum
e.       Terkadang ada tendensi pada anus karena proses dekat pada rectum dan sigmoid
f.       Pada periksa dalam, nyeri jika portio digoyangkan, nyeri kiri dan kanan dari uterus terkadang ada penebalan dari tuba.
5.     Pelvioperitonitis (Perimetritis)
Biasanya terjadi sebagai lanjutan dari salpingoophoritis. Kadang – kadang terjadi dari endometritis.
Etiologi :
a.      GO
b.      Sepsis ( Post partum dan post abortus )
c.       Dari appendicitis.
Pelvioperitonitis dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan dari alat-alat dalam rongga panggul dengan akibat perasaan nyeri atau ileus.
Dapat dibedakan menjadi 2 bentuk:
a.       Bentuk yang menimbulkan perlekatan-perlekatan tanpa pembuatan nanah.
b.      Bentuk dengan pembentukan nanah yang menimbulkan douglas abses.
1)      Pelvioperitonitis akut
Gejala : Nyeri diperut bagian bawah.
Diagnosa :
Pada periksa dalam teraba infiltrat dalam cavum douglasi, tapi kadang-kadang hanya ada penebalan lipatan cavum douglasi yang teraba sebagai piggir yang keras. Sebagai akibat pelveoperitonitis dapat terjadi douglas abces. Douglas abcas ini dapat pecah ke dalam rectum atau ke dalam fornix posterior vaginae.
Douglas abses dapat terjadi karena :
a)      Nanah yang keluar dari salpingitis purulenta.
b)      Pyosalping yang pecah.
c)      Haematocele retrouterina yang terinfeksi.
d)     Abses ovarium yang pecah.
e)      Dari abses appendiculer.
f)       Pelveoperitonitis purulenta.
g)      Perforasi usus pada typus abdominalis ( terutama dinegara yang sedang berkembang).
Gejala :
a)      Demam intermitens, pasien menggigil.
b)      Tanesmi ad anum.
   Diagnosa :
a)      Pada periksa dalam teraba masa yang kenyal yang berfluktuasi dalam cavum douglasi dan nyeri tekan.
b)      KED tinggi dan gambaran darah toksis.
   Diagnosa banding :
a)      Haematocele retroutenia : terjadi lambat laun dan setelah beberapa lama menjadi keras.
b)      Tumor tumor retrouterin: biasanya batas batasanya jelas, kadang kadang dapat digerakkan.
c)      Abses dalam parametrium: terletak dalam ligamen sakro uterinum
   Terapi :
a)      Antibiotik bordspecrtum
b)      Istirahat dalam letak flower
c)      Opiat untuk mengurangi rasa nyeri
d)     Infus untuk mempertahankan galance elektrolit
e)      Dekompresi dengan Abott  Miller Tube
f)       Pada douglas abses dilakukan kolpotomia posterior , kalau setelah kolpotomi  tidak segera ada perbaikan harus dicari sebab-sebab ekstra genital, misal perforasi usus karena typus abdominalis.
2.3. Tanda dan Gejala
Tanda :
·         Nyeri abdominal bawah, biasanya bilateral
·         Pengeluaran secret mukopurulen dan terdapat servisitis menggunakan spekulum
·         Nyeri pergerakan pada Serviks dan nyeri adneksa pada pemeriksaan vagina bimanual
·         Demam lebih dari 38oC tapi terkadang juga apreksia

Gejala :
1.      Tegang nyeri abdomen bagian bawah
2.      Tegang nyeri adneksa unilateral dan bilateral
3.      Tegang nyeri pada pergerakan servik
4.      Temperatur di atas 38 o C
5.      Pengeluaran cairan servik atau vagina abnormal
6.      Peningkatan C reaktif protein    
7.      Pada pemeriksaan lendir servik dijumpai clamidia trachomatis atau neisseria   gonorhoe
8.      Laju endap darah meningkat
2.4. Pemeriksaan Yang Di lakukan

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan:
1.      Tes kehamilan: Pemeriksaan serum kehamilan untuk menyingkirkan KET
2.      Swabs serviks untuk mengetahui penyebab: (+) untuk Klamidia dan Gonorea, hasil (-) masih bisa menunjukkan PID akibat penyebab alin
3.      Meningkat nya laju endap darah dan C-protein: menunjukkan adanya infeksi
4.      Biopsy endometrium
    • Pemeriksaan USG per vaginam dan per pelvis: untuk menyingkirkan KET usia > 6 minggu
    • Kuldosintesis: untuk mengetahui bahwa perdarahan yang terjadi diakibatkan oleh hemoperitoneum (berasal dari KET yang rupture atau kista hemoragik) yang dapat menyebabkan sepsis pelvis (salpingitis, abses pelvis rupture, atau apendiks yang ruptur)
5.      Laparoskopi : Untuk melihat langsung gambaran tuba fallopi. Pemeriksaan ini invasive sehingga bukan merupakan pemeriksaan rutin. Untuk mendiagnosis penyakit infeksi pelvis, bila antibiotik yang diberikan selama 48 jam tak member respon, maka dapat digunakan sebagai tindakan operatif
  1. Urinalisis dan kultur urin untuk meng-ekslusi infeksi saluran
Catatan:
·       Tak ada satu pun pemeriksaan yang sensitive atau pun spesifik untuk menegakkan diagnosis penyakit infeksi pelvis ini
·       Bila pasien dicurigai menderita PID maka temui dokter secepatnya untuk mencegah terjadinya infertilitas
2.5.  Pengobatan
Terapi PID harus ditunjukan untuk mencegah kerusakan tuba yang menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik, serta pencegahan infeksi kronik. Banyak pasien yang berhasil diterapi dengan rawat jalan dan terapi rawat jalan dini harus menjadi pendekatan terapeutik permulan. Pemilihan antibiotika harus ditunjukan pada organisme etiologic utama ( N. gonorrhea atau C. trahomatis) tetapi juga harus mengarah pada sifat polimikrobial PID.
Untuk pasien denagn PID ringan atau sedang terapi oral dan parenteral mempunyai daya guna yang sama. Sebagian besar klinisi menganjurkan terapi parenteral paling tidak selama 48 jam kemudian dilanjutkan dengan terapi oral 24 jam setelah ada perbaikan klinis.
1.      Terapi Parenteral
a.       Rekomendasi terapi parenteral A
1)      Sefotetan 2  g intravena setiap 12 jam atau
2)      Sefoksitin 2 g intravena setiap 6 jam ditambah
3)      Doksisiklin 100 mg oral atau parental setiap 12 jam
b.      Rekomendasi terapi parenteral B
1)      Klindamisin 900 mg  setiap 8 jam ditambah
2)      Gentamisin dosis muatan intravena atau intramuskuler  (2 mg/kg berat badan) diikuti dengan dosis pemeliharaan (1,5 mg/kg berat badan) setiap 8 jam. Dapat digantikan dengan dosis tunggal harian.
c.       Terapi parenteral alternatif
Tiga terapi alternatif telah dicoba dan mereka mempunyai cakupan spektrum yang luas.
1)      Levofloksasin 500 mg intravena 1x sehari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg intravena setiap 8 jam atau.
2)      Ofloksasin 400 mg intravena setiap 12 jam dengan atau tanpa metronidazol 500 mg intravena setiap 8 jam.
3)      Ampisilin/sulbaktam 3 g intravena setiap 6 jam ditambah doksisiklin 100 mg oral atau intravena setiap 12 jam.
2.      Terapi Oral
  Terapi oral dapat dipertimbangkan umtuk penderita PID ringan atau sedang karena kesudahan klinisnya sama dengan terapi parenteral. Pasien yang mendapat terapi oral dan tidak menunjukkan perbaikan setelah 72 jam harus dire-evaluasi untuk memastikan diagnosanya dan diberikan terapi parenteral baik dengan rawat jalan maupun inap.
a.       Rekomendasi terapi A
1)      Levofloksasin 500 mg oral 1x setiap hari selama 14 hari atau doksisiklin 400 mg 2x sehari selama 14 hari, dengan atau tanpa
2)      Metronidazol 500 mg oral 2x sehari selama 14 hari.
b.      Rekomendasi terapi B
1)      Seftriaxon 250 mg intramuskuler dosis tunggal ditambah doksisiklin oral 2x sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg oral 2x sehari selama 14 hari, atau
2)      Sefoksitin 2 g intramuskuler dosis tunggal dan probenesid ditambah  doksisiklin oral 2x sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg oral 2x sehari selama 14 hari, atau
3)      Sefalosporin generasi ketiga (misal seftizoksin atau sefotaksim) ditambah doksisiklin oral 2x sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazol 500 mg oral 2x sehari selama 14 hari.
(Sarwono.2011;h.230)
PID tanpa komplikasi bisa di obati dengan antibiotik dan penderita tidak perlu di rawat. Jika terjadi komplikasi atau penyebaran infeksi, maka penderita harus dirawat di rumah sakit.Antibiotik diberikan secara intravena lalu diberika peroral. Jika tidak ada respon terhadap pemberian antibiotik,mungkin perlu dilakukan pembedahan. Pasangan seksual penderita sebaiknya juga menjalani pengobatan secara bersamaan dan selama menjalani pengobatan jika melakukan hubungan seksual,pasangan penderita sebaiknya menggunakan kondom
BAB III
PENUTUP
3.1.         Kesimpulan
Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi pada traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur penunjang pelvis. PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit menular seksual seperti N. Gonorrhea dan  C. Trachomatis. PID disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden ke traktus genital atas dari vagina dan seviks. Mekanisme pasti yang bertanggung jawab atas penyebaran tersebut tidak diketahui, namun aktivitas seksual mekanis dan pembukaan serviks selama menstruasi mungkin berpengaruh. Secara tradisional, diagnose PID didasarkan pada trias tanda dan gejala yaitu, nyeri pelvic, nyeri pada gerakan serviks, dan nyeri tekan adnexa, dan adanya demam. Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID. Terapi dimulai dengan terapi antibiotik empiris spectrum luas. Penanganan juga termasuk penanganan simptomatik seperti antiemetic, analgesia, antipiretik, dan terapi cairan. Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi harus dievaluasi ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi pembedahan. Prognosis pada umunya baik jika didiagnosa dan diterapi segera. Prognosis pada umunya baik jika didiagnosa dan diterapi segera.
3.2.  Saran
Untuk menghindari Penyakit Radng Panggul yang sering dialami oleh kebanyakan wanita sebaiknya dimulai terlebih dahulu dari hal yang paling mudah yaitu menjaga diri termasuk merawat pada daerah yang rawan mikroba termasuk di daerah genetalia bagian dalam vagina,agar terhindar dari bakteri yang dapat menyebabkan rasa nyeri,serta harus setia pada satu pasangan saja.Dan mulailah menjaga anggota tubuh kita agar terhindar dari penyakit
DAFTAR PUSTAKA

Manuaba, Ida Ayu Chandranita, dkk. 2009. Memahani Kesehatan Reproduksi Wanita. EGC: Jakarta
Marmi. 2013. Kesehatan Reproduksi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta
Widyastuti,Yani dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Fitramaya: Yogyakarta    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar